Kisah Siti Hajar Dan Ibrahim As


Kejadian mengharukan ribuan tahun yang lalu,
seorang Ibu bernama SITI HAJAR, yang tidak lagi muda, bersama suami bernama IBRAHIM dan anak bayinya bernama ISMAIL tiba di tempat yang kini bernama Mekah di tengah terik matahari di padang pasir tandus tanpa persediaan makanan dan minuman memadai. Dalam keadaan galau tiba-tiba sang suami pamit dan berjalan pergi untuk meninggalkan sang istri dan anak bayi mereka."

Siti Hajar pun heran dan memperhatikan sikap suaminya dan bertanya; "Hendak kemanakah engkau suamiku? "Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua ditempat yang sunyi dan tandus ini?"
Pertanyaan itu berulang kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tetap melangkah meninggalkan istri dan anaknya. Siti Hajar pun bertanya lagi; "hendak kemanakah engkau Ibrahim? Sampai hatikah engkau meninggalkan aku dan anak bayimu di tengah padang tandus ini?" Lagi-lagi tidak dijawab oleh Nabi Ibrahim.
Siti Hajar kemudian bertanya sambil menangis: "Apakah ini perintah dari Allah?" Barulah Nabi Ibrahim menjawab; "ya." Dan Siti Hajar pun diam, tak bertanya lagi, dan dengan rela melepas suami meninggalkan dirinya dan anak bayinya tanpa siapa-siapa menemani kecuali keyakinan atas Ke-Maha-Kuasaan Allah.

Nampaknya, apa yang dirasa oleh Ibrahim As, kala itu benar-benar hancur perasaanya sebagai manusia. Ia harus meninggalkan istri dan darah dagingnya di sebuah padang yang begitu gersang tanpa mata air secuil pun. Betapa berat langkah beliau yang bisa saja meruntuhkan puing-puing cintanya. Namun, kekuatan cinta akan Tuhannya tak bisa menghalangi sifat manusiawi yang terasa dalam dirinya. Ia harus terus melanjutkan langkah suci perintah Rabb-nya.

Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah, sehingga tak terasa peristiwa ditinggalnya Siti Hajar dan Ismail di padang penuh gersang itu telah berlalu sepuluh tahun. Akhirnya, kembali lah Ibrahim As, dari perantau-nya. Dapat dibayangkan secara manusiawi, betapa besarnya rasa rindu yang menyebar pada aliran darah sang Ayah saat mendekap erat anak semata wayangnya. Betapa dahsyatnya gelombang cinta yang mengalir pada setiap partikel tubuh yang menghilang dari kelopak mata. Kerinduan yang menggebu selama sepuluh tahun tertumpah ruah saat jiwa disatukan kembali bersama cahaya cinta penenang raga. Bayi mungil yang saat ditinggal masih berkulit merah, kini telah tumbuh menjadi seorang anak yang sholeh dan cerdas.

          “Wahai ayahanda, jangan khawatir, selama Engkau meninggalkan kami, hanya Allah Penguasa Alam Semesta lah yang menjaga kami”, ungkap Ismail dalam pelukan hangat ayah tercintanya. Semakin menjadilah tangisan Ibrahim mendengar kesholehan anaknya. Semakin ia dekap, semakin tumbuh kecintaannya yang tiada tara.

Setiap hari, mutiara hati itu semakin memanjakan mata, menenangkan raga. Kesholehannya telah merebut hati Ibrahim As. Ia semakin cinta dan sayang kepada anak yang telah ia tinggalkan sekian lama. Diantara berbunganya hati Ibrahim oleh semerbak surga kesholehan Ismail, diantara gelombang cinta yang tak terbendung, diantara kesatuan organ yang semakin kokoh tersusun. Tibalah Allah Dzat Maha Kuasa merintahkan Ibrahim As, untuk menyembelih anak tercintanya. Berat, tak kuasa, hancur, dan robeknya perasaan manusia saat mendapatkan titah tersebut. Awalnya, ia hanya mengira itu adalah bisikan syetan dalam mimpinya. Namun perintah itu terus berulang hingga beberapa kali, sehingga mengkokohkan keyakinannya, bahwa itu adalah perintah Allah SWT.
Dengan ketaatan yang total, akhirnya Ibrahim As. Menceritakan perintah Allah SWT kepada anak yang kini telah merebut segala cinta yang tumbuh dalam dirinya. Dengan lugas dan jelas, ismail yang saat itu baru berusia 10 tahun, meyakinkan bahwa itu adalah perintah Allah SWT,

            “Lakukanlah wahai ayahanda, insya Allah engkau akan mendapatkan aku dari golongan orang yang bersabar”. Semakin meledaklah tangisan Ibrahim saat mendengar ucapan Ismail. Ia peluk erat-erat tubuh Ismail, tak mampu lagi berkata dan tak kuasa lagi memandang wajah anak yang telah menjadikan kecintaannya semakin besar.

Ketika keduanya bersiap melaksanakan perintah Allah SWT. Munculah setan untuk menghadang dan mengganggu keyakinan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Sehingga mereka bertiga mengusir dan melontarnya. Tatkala tiba di sebuah tempat yang sudah disediakan batu besar untuk menyembelih,
    
             Ismail berkata “Wahai Ayahanda, lepaslah pakaian yang dipakai ayah, sehingga darahnya tidak mengena pakaian, aku tidak ingin nanti ibu bertanya darah siapa yang ada dalam pakaian itu, sehingga ia akan merasa sedih dan terus mengenangku, dan janganlah pandangi wajahku saat ayah mengayunkan pedang kepada ku, karena ayah tidak akan kuat melihat, dan muncul keraguan dalam diri ayah”,

Nabi Ibrahim tidak bisa berkata, sudah kelu rasanya lidah, sudah kaku kiranya raga yang tertapak. Saat Ibrahim As, mengayunkan pedang ke leher Ismail, pedang nya tidak bisa menebas leher Ismail, sekali-dua kali pedang itu masih tidak bisa menebas leher anaknya. Lalu ia ayunkan pada batu besar disampingnya, maka batu itu terbelah dua. Lalu saat ketiga kali ia akan ayunkan pedangnya. Munculah firman Allah untuk tidak meneruskan menebas leher ismail dan menggantikannya dengan se-ekor kambing yang besar.

0 komentar:

Post a Comment