Mecari Kebahagiaan Itu Ibarat Menangkap Kupu - Kupu

 kupu kupu

Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah di lewatinya, namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana.
“Sedang apa kau disini anak muda?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. “Apa yang kau risaukan..?” Anak muda itu menoleh ke samping, “Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, “di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku.
Mereka berpandangan. “Ya…tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu” sang Kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu. Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu.
Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah.” Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu. “Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?” Sang Kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.” “Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.
Moral Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya. Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh. Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita. Saya percaya, bahagia itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu “hinggap” di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.

Sumber : http://joehasan.wordpress.com
READ MORE - Mecari Kebahagiaan Itu Ibarat Menangkap Kupu - Kupu

Kisah Asad dan Kupu-Kupu Warna-Warni



Di akhir pekan, Asad berkunjung ke kakeknya. Dua hari berlalu begitu cepat, dan sebelum Asad mengetahuinya, Ayahnya telah tiba untuk membawanya pulang. Asad mengucapkan selamat tinggal pada kakeknya dan duduk di dalam mobil.
Ia melihat keluar jendela, menanti Ayahnya mengumpulkan barang-barangnya. Seekor kupu-kupu hinggap di sebuah bunga tak jauh darinya, mengibaskan-ngibaskan sayap, dan terbang ke jendela mobil.

“Kamu mau pulang ke rumah, Asad?” tanya kupu-kupu itu dengan suara kecil.
Asad sangat terkejut. “Kamu tahu siapa diriku?” tanyanya.
“Tentu saja aku tahu,” senyum kupu-kupu mengembang. “Aku mendengar kakekmu menceritakan dirimu pada tetangga-tetangga.”
“Mengapa tidak dari dulu kamu datang dan bicara denganku?” Asad ingin tahu.
“Aku tak bisa, karena aku berada dalam sebuah kepompong di atas pohon dalam taman,” kupu-kupu itu menjelaskan.
“Sebuah kepompong? Apa itu?” tanya Asad, yang senantiasa ingin tahu.
“Mari kujelaskan semua dari awalnya,” kata kupu-kupu itu sambil menghirup udara dang-dalam.

“Kami, kupu-kupu, menetaskan telur menjadi ulat-ulat kecil. Kami memberi makan diri kami dengan mengerumuti dedaunan. Kemudian, kami gunakan cairan yang keluar dari tubuh kami seperti benang, dan membungkus diri kami di dalamnya. Bungkusan kecil hasil tenunan kami disebut sebagai sebuah kepompong. Kami menghabiskan waktu beberapa lama di dalam bungkusan itu sambil tumbuh berkembang. Ketika kami bangun dan keluar dari kepompong, kami mempunyai sayap-sayap cerah berwarna-warni. Kami menghabiskan sisa hidup kami dengan terbang dan memberi makan diri kami dengan bunga-bungaan.”
Asad mengangguk-angguk penuh pemikiran.

“Maksudmu, semua kupu-kupu berwarna-warni itu dulunya adalah ulat-ulat, sebelum mereka menumbuhkan sayap?”
“Bisakah kau lihat ulat hijau di cabang itu?” tanya kupu-kupu.
“Ya, aku melihatnya. Ia sedang menggerogoti daun dengan kelaparan..”
“Itu adik lelakiku,” kata ulat bulu itu tersenyum. “Beberapa waktu lagi ia akan menenun sebuah kepompong, dan suatu hari akan menjadi kupu-kupu seperti aku.”

Asad punya banyak sekali pertanyaan yang ingin diajukannya pada teman barunya. “Bagaimana caramu merencanakan perubahan ini? Maksudku, kapan kamu keluar dari sebuah telur, berapa lama kamu menjadi seekor ulat bulu, dan bagaimana kamu membuat benang untuk menenun kepompongmu?”

“Aku tidak merencanakan apapun,” kupu-kupu itu dengan sabar menjelaskan. “Allah telah mengajari kami apa yang perlu kami lakukan, dan kapan kami harus melakukannya. Kami hanya bertindak sesuai dengan kehendak Allah.”

Asad benar-benar terkesan. “Pola-pola di sayapmu sangat indah. Semua kupu-kupu memiliki corak yang berbeda-beda, bukankah begitu? Mereka betul-betul berwarna-warni dan menarik perhatian!”

“Itulah bukti kesenimanan Allah yang tak tertandingi. Ia menciptakan kita satu demi satu, dengan kemungkinan cara yang paling indah,” temannya menjelaskan.

Asad menyetujuinya dengan antusias: “Tidak mungkin kita mengabaikan hal-hal indah yang telah Allah ciptakan. Ada ratusan contoh di sekeliling kita!”
Kupu-kupu setuju: “Kamu benar, Asad. Kita mesti berterimakasih pada Allah atas segala berkah ini.”
Asad melihat ke arah punggungnya. “Ayahku datang. Tampaknya kami akan segera berangkat. Luarbiasa sekali bisa bertemu denganmu. Bisakah kita berbicara lagi ketika aku datang minggu depan?”
“Tentu saja,” kupu-kupu mengangguk. “Semoga selamat di perjalanan sampai ke rumah.”

Segala sesuatu di langit dan bumi memuja Allah ... (Surat Al-Hadid, 1)

Tidakkah kalian melihat bahwa Allah mencurahkan air dari langit, dan dengannya Ia menumbuhkan buah-buahan beraneka jenis? Di pegunungan, terdapat lapisan-lapisan merah dan putih, bayang-bayang yang beranekaragam, dan batu-batu hitam legam. Manusia dan hewan, serta ternak, juga beraneka warna. Hanya pelayanNya yang berpengetahuan yang takut kepada Allah. Allah adalah Yang Maha Kuasa, Maha Memaafkan (Surat Fatir: 27-28).

Sumber : Harun Yahya
READ MORE - Kisah Asad dan Kupu-Kupu Warna-Warni

Kehebatan Pedang Nano Salahuddin Al-Ayyubi





Manusia mula menguasai seni membuat pedang sejak zaman Nabi Daud a.s. lagi sehingga Islam menghasilkan pedang berteknologi nano yang digeruni Barat pada zaman Salahuddin al Ayyubi.

Dunia Islam dikenali memiliki kandungan sumber alam yang melimpah ruah. Salah satu sumber mineral yang memiliki pengertian penting dalam sejarah teknologi Islam adalah besi. Pada era kegemilangan Islam, berkembang pesat teknologi penghasilan besi dan seni membuat pedang.

Salah satu pusat pembuatan pedang dengan teknologi yang termasyhur pada zaman kekhalifahan adalah Damsyik, Syria.

Seni pembuatan pedang dengan teknologi tinggi dalam peradaban Islam bermula pada abad ke-9 M. Sejarawan Al-Qalqashandi dalam buku berjudul, Subh Al Asha, mencatatkan bahawa pada abad ke-12 M Damsyik menjadi pusat penghasilan besi yang sangat masyhur.

Pedang buatan Damsyik yang kerap disebut sebagai pedang Persia sangat lentur dan tajam. Kehebatan pedang dari dunia Islam sempat membuat peradaban Barat 'terdiam' dan kagum.

Salah satu faktor penyebab kekalahan pasukan Tentera Perang Salib dari Eropah ketika bertempur melawan tentera Muslim adalah peralatan tempur. Selain memiliki kuda-kuda yang kuat di medang perang, pasukan tentera Muslim juga dilengkapi dengan pedang yang mampu membelah manusia dengan satu kali libasan.

Pedang persia sememangnya mengkagumkan. Ia mampu memotong sutera yang dijatuhkan dari udara. Bukan itu sahaja, pedang buatan Damsyik juga mampu mematahkan bilah pedang lain atau batu tanpa hilang ketajamannya.

Ketika zaman Perang Salib, peradaban Barat mula mencari rahsia teknologi pedang yang dikuasai dunia Islam. Tentera Perang Salib menyebut besi yang hebat dari Damsyik itu sebagai 'Damascus Steel'. Teknologi pembuatan besi dan pedang Damsyik begitu terkenal kerana mampu menempa wootz steel menjadi indah dan lentur.

Seni membuat pedang pada era kejayaan Islam mendapat perhatian khusus dari peradaban Barat. Secara khususnya, Robert Hoyland dan Brian Gilmore menulis buku bertajuk, Medieval Islamic Swords and Swordmaking. Buku setebal 216 halaman itu mengupas risalah yang ditulis ulama Muslim terkemuka pada abad ke-9 M, Yqub Ibnu Ishaq Al-Kindi, tentang 'Pedang dan Ragam Jenisnya'.


SEJAK ZAMAN NABI DAUD a.s

Teknologi pembuatan besi nampaknya telah dikuasai manusia sejak zaman Nabi Daud a.s. Hal ini terungkap dalam surah al-Anbiyaa ayat 80. Dalam surah itu Allah SWT berfirman,

"Dah telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu. Maka, hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)."

Fakta lainnya yang menyebutkan pembuatan besi yang telah berkembang pada zaman Nabi Daud a.s. juga dengan diungkapkan dalam surah Saba ayat 10.

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman), Hai gunung-gunung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya."

Dalam surat Saba ayat 11, al Quran juga memerintahkan dan menjelaskan cara membuat baju besi. "Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dah kerjakanlah amalan yang soleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan."

"Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah dia ciptakan dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepadaNya)." (An-Nahl:81)


TEKNOLOGI NANO

Keistimewaan Pedang Salahuddin al Ayyubi telah dibongkar oleh Prof Dr. Peter Paufler dan kumpulannya di Universiti Teknikal Dresden, Jerman apabila mereka menemui tiub karbon nano (carbon nanotube) di dalam pedang yang digunakan oleh Salahuddin Al Ayyubi dan tentera-tentera Islam dalam peperangan Salib.

Tiub karbon nano inilah yang telah menjadikan pedang-pedang pejuang Islam sangat istimewa; sangat tajam tetapi mudah lentur.

Penemuan ini telah diterbitkan oleh jurnal Nature (antara jurnal saintifik paling bepengaruh di dunia) pada tahun 2006.

Menurut sejarah, Salahuddinlah yang telah memimpin pembebasan Tanah Suci ketiga umat Islam daripada cengkaman Kristian hampir seratus tahun lamanya dalam Perang Salib.

Kunci kepada teknologi nano pedang mujahidin Islam ini terletak kepada teknik pembuatannya yang unik. Bijih besi dari India yang dikenali sebagai wootz mengandungi sejumlah peratusan unsur karbon (carbon) yang memberikannya sifat rapuh (brittle).

Apabila dikenakan suhu yang amat tinggi, sekitar 800c, campuran besi dan karbon tadi akan ditambah dengan unsur-unsur seperti Kromium, Mangan, Kobalt dan beberapa unsur lain yang telah memberikannya sifat-sifat sebilah pedang setiawan: tajam lagi lentur.

Sayang sekali, teknologi ini telah lenyap menginjak kurun ke-18 seiring dengan kepupusan bijih besi dan unsur-unsur penguat pedang tadi.

Penempa-penempa pedang ini, biarpun secara tidak sedar, telah meletakkan dua asas penting kepada permulaan sains bahan moden: pertama, campuran bahan-bahan kimia pada peratusan yang sesuai dan kedua, teknik penggunaan haba yang tinggi untuk pembikinan produk. Tentera-tentera salib terkedu ketika melihat pedang nano pejuang Islam.

Pedang nano Salahuddin Al Ayyubi yang berwarna kebiru-biruan dengan larik-larik mengufuk di sepanjang bilahnya telah "mengajar" pedang lebar tentera Britain kepunyaan Raja Richard I (panglima tentera salib) akan erti kehebatan teknologi Islam pada zaman itu seperti yang dihikayatkan oleh Sir Walter Scott di dalam bukunya "The Talisman".

Artikel : Mohd Adib Mohd Sidek
Majalah I


Wallahua'lam

SUMBER :
http://www.one-ummah.net/renungan/sains/341-kehebatan-pedang-nano-salahuddin-al-ayyubi.html

gambar sekadar hiasan


READ MORE - Kehebatan Pedang Nano Salahuddin Al-Ayyubi