Jangan pernah percaya, bahwa organ tubuh harimau sebagai obat mujarab untuk kesehatan. Semua itu hanya sebagai dorongan ekonomi agar perdagangan satwa liar kian diminati. Itulah pendapat Neil Franklin warga negara Inggris yang meraih gelar Doktor Harimau Sumatera.
Unik rasanya memiliki gelar doktor Harimau Sumatera. Apa lagi orang yang meraih gelar itu justru berasal dari luar negeri. Neil begitu sapaan akrabnya yang lahir di Inggris pada November 1969 silam. Suami dari Ida Kartikasari ini, merupakan alumni Universitas Oxford pada tahun 1992 lalu. Usai kuliah, bapak dari tiga bocah ini melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar doktor.
Tak tanggung-tanggung, gelar doktor yang dia buru adalah Harimau Sumatera. Pada tahun 2001 gelar itu pun dia raihnya dari Universitas York di Inggris. Indonesia, bukanlah negara asing baginya. Sejak duduk di bangku SMA pada tahun 1983 silam, pria ini sudah sering mondar mandir ke Sumatera. Maklum, saat itu orangtuanya lagi memiliki bisnis pembangunan pabrik semen di Aceh.
Kebiasaanya yang di Sumatera, membuat hatinya tergugah untuk berkiprah di negara orang lain. Sebulan sebelum meraih gelar doktor itu, sebuah iklan di media massa menampilkan kesempatan bergabung untuk beraktivitas bidang konservasi.
"Tiba-tiba salah satu teman memberikan kutipan iklan dari koran yang meminta kandidat-kandidat untuk bergabung dalam 'Expedisi Survei Badak Sumatera'. Dengan perasaan bahwa hidup masih panjang, pengalaman masih kurang, dan dengan rasa penasaran tentang Indonesia yang belum terpenuhi, saya memutuskan untuk bergabung dengan expedisi itu. Dan akhirnya tiba kembali di Indonesia tahun 1993," tutur Neil dalam perbincangan dengan detikcom.
Beranjak dari aktivitas yang berbau lingkungan, Neil penasaran untuk terus mendalami soal lingkungan di Indonesia. Dia mengalami korsevasinya dalam Ekspedisi Badak Sumatera yang sempat bermitra dengan NGO lainnya, seperti WWF dan Yayasan Badaka Sumetara. Suatu outcome yang terbaik dari tugas tersebut adalah membangun program suaka badak. Ini merupakan program anti perdagangan satwa liar, dan program patroli dan pengaman satwa langka yang masih berlanjut sampai hari ini.
"Sebuah pengalaman yang tidak terlupakan di sumetara. Bertahun-tahun hidup sederhana di antara keindahan alam dengan bertemu berbagai jenis satwa liar. Saya hilir mudik dari satu kawasan hutan Sumbar, Jambi, Bengkulu, Sumsel dan Riau. Malah saat melakukan survei, pernah dikejar kelompok pemburu liar di tengah hutan," kenang Neil yang sebagaian besar hidupnya lebih lama di Indonesia ketimbang di tanah kelahirannya.
Dari ekspedisi Badak Sumatera, Neil pun beralih melakukan survei terhadap Harimau Sumatera. Perjalannya di kawasan hutan, dia dapat menyaksikan bagaimana masyarakat pendalaman yang bergantung pada keramahan lingkungan untuk kesejahteraan keluarganya.
Dari situlah dia belajar bahwa konservasi alam tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup dari masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat penting dan seharusnya saling mendukung dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Dari sekian banyak satwa liar yang ada di Sumatera, baginya kehidupan satwa langka Harimau Sumatera paling unik dan menarik. Harimau Sumatera memiliki status khusus dalam kebudayaan masyarakat. Keberadaan Harimau seakan tidak pernah lekang dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat bahwa macan sebagai Datuk alias Kakek yang sampai kini diyakini banyak orang. Satwa ini bagi masyarakat selain si raja hutan, juga merupakan wujud tanda penghukum sekaligus pelindung. Itu dibuktikan masyarakat pedalaman memberikan penghormatan khusus bagi harimau satwa yang hidup berdampingan di tengah hutan belantara.
Dalam melaksanakan survei Harimau Sumatera ini, Neil sempat bekerja sama dengan Departemen Kehutanan. Kegiatan yang dilakukannya pun didukung dana dari Kanada, Amerika Serikat dan Inggris. Selama 7 tahun program ini menjadi "pioneer" dalam pengelolaan, menghitung dan pemahaman ekologi harimau dan tantangan konservasi harimau dan habitatnya. Program ini juga meneliti masalah konflik manusia-harimau, serta melaksanakan penangkapan dan relokasi harimau yang bermasalah.
"Tujuan dari semua itu untuk mengintegrasikan konservasi harimau dan biodiversiti dalam lanskap yang dikelola di sektor kelapa sawit, kehutanan dan perkebunan," kata Neil.
Dari berbagai survei terkait perdagangan Harimau Sumatera selama ini, dapat dipastikan, bahwa organ tubuh satwa dilingdungi itu memang sangat banyak peminatnya. Isu terus berkembang bahwa obat-obatan tradisional dari organ tubuh macan dianggap obat paling mujarab untuk kesehatan.
Walaupun banyak obat tradisional memiliki kekuatan berdasarkan ilmu yang terbukti, urusan tubuh harimau itu urusan lain lagi. Menurut Neil, sudah terbukti secara ilmiah bahwa tidak ada efek pengobatan, bahkan ini sudah disetujui para ahli obat-obatan tradisional di dunia. Masalah perdagangan ilegal organ tubuh ini murni didorong faktor ekonomi dan keserakahan manusia. Sebuah komoditi yang semakin langka, tentu semakin mahal. Bagian tubuh harimau diperjualbelikan hanya karena kelangkaannya itu.
"Para pembeli dibohongi untuk membeli sesuatu yang eksklusif, tapi yang di-untungkan para perdagang dan middleman, bukan konsumennya. Sementara rantaian perdagangan ilegal ini merupakan faktor penting yang mendorong harimau Sumatera semakin langka di hutan alam Indonesia," imbuh Neil yang sempat bekerja di PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) perusahaan kertas di Riau itu.
Bagi para pedagang, kepunahan harimau mungkin dianggap urusan kesekian. Semakin langka jenis satwa itu, maka dengan sendirinya harga dipasaran internasional kian mahal. "Andai saja kelak harimau ini punah, maka para pedagang akan kembali mengisukan organ kambing sebagai sebagai obat mujarab. Jadi jangan pernah percaya, kalau organ tubuh harimau merupakan obat tradisonal yang topcer," kata Neil yang kini bekarie sebagai konsultan independent itu.
Konflik antara harimau dan manusia yang sering terjadi saat ini tidak lain karena pakan harimau yang sudah langkah akibat perburuan manusia. Ketika sumber makanan tidak tersedia lagi, maka dengan sendirinya harimau mencari makan di luar kebiasaannya. Ini belum lagi habitatnya kian hari kian menyempit. Kondisi itu melahirkan konflik yang berkepanjangan dengan manusia.
"Pemerintah bersama masyarakat harus berkerja keras untuk menyelamatkan kawasan hutan dan harimau yang tersisa. Bila tidak, semua hanya tinggal dongen belaka," sambung Neil.
Bagi Neil, Indonesia sangat menarik, karena begitu banyak tantangan pembangunan. Pun begitu masih penuh dengan potensi untuk belajar dari kesalahan pembangunan negara-negara lain. Indonesia, karena luas dengan masyarakat yang kreatif, dan sumber daya alam yang besar, bagi Neil masih mempunyai potensi untuk menjadi negara yang sustainable.
"Oleh karena itu masih punya potensi besar untuk maju pesat dan dibanggakan di dunia ini. Saya sangat optimis tentang ini baik untuk keberadaan harimau Sumatera dan juga untuk pembangunan berkelanjutan Indonesia secara luas," tutup Neil.
Unik rasanya memiliki gelar doktor Harimau Sumatera. Apa lagi orang yang meraih gelar itu justru berasal dari luar negeri. Neil begitu sapaan akrabnya yang lahir di Inggris pada November 1969 silam. Suami dari Ida Kartikasari ini, merupakan alumni Universitas Oxford pada tahun 1992 lalu. Usai kuliah, bapak dari tiga bocah ini melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar doktor.
Tak tanggung-tanggung, gelar doktor yang dia buru adalah Harimau Sumatera. Pada tahun 2001 gelar itu pun dia raihnya dari Universitas York di Inggris. Indonesia, bukanlah negara asing baginya. Sejak duduk di bangku SMA pada tahun 1983 silam, pria ini sudah sering mondar mandir ke Sumatera. Maklum, saat itu orangtuanya lagi memiliki bisnis pembangunan pabrik semen di Aceh.
Kebiasaanya yang di Sumatera, membuat hatinya tergugah untuk berkiprah di negara orang lain. Sebulan sebelum meraih gelar doktor itu, sebuah iklan di media massa menampilkan kesempatan bergabung untuk beraktivitas bidang konservasi.
"Tiba-tiba salah satu teman memberikan kutipan iklan dari koran yang meminta kandidat-kandidat untuk bergabung dalam 'Expedisi Survei Badak Sumatera'. Dengan perasaan bahwa hidup masih panjang, pengalaman masih kurang, dan dengan rasa penasaran tentang Indonesia yang belum terpenuhi, saya memutuskan untuk bergabung dengan expedisi itu. Dan akhirnya tiba kembali di Indonesia tahun 1993," tutur Neil dalam perbincangan dengan detikcom.
Beranjak dari aktivitas yang berbau lingkungan, Neil penasaran untuk terus mendalami soal lingkungan di Indonesia. Dia mengalami korsevasinya dalam Ekspedisi Badak Sumatera yang sempat bermitra dengan NGO lainnya, seperti WWF dan Yayasan Badaka Sumetara. Suatu outcome yang terbaik dari tugas tersebut adalah membangun program suaka badak. Ini merupakan program anti perdagangan satwa liar, dan program patroli dan pengaman satwa langka yang masih berlanjut sampai hari ini.
"Sebuah pengalaman yang tidak terlupakan di sumetara. Bertahun-tahun hidup sederhana di antara keindahan alam dengan bertemu berbagai jenis satwa liar. Saya hilir mudik dari satu kawasan hutan Sumbar, Jambi, Bengkulu, Sumsel dan Riau. Malah saat melakukan survei, pernah dikejar kelompok pemburu liar di tengah hutan," kenang Neil yang sebagaian besar hidupnya lebih lama di Indonesia ketimbang di tanah kelahirannya.
Dari ekspedisi Badak Sumatera, Neil pun beralih melakukan survei terhadap Harimau Sumatera. Perjalannya di kawasan hutan, dia dapat menyaksikan bagaimana masyarakat pendalaman yang bergantung pada keramahan lingkungan untuk kesejahteraan keluarganya.
Dari situlah dia belajar bahwa konservasi alam tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup dari masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat penting dan seharusnya saling mendukung dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Dari sekian banyak satwa liar yang ada di Sumatera, baginya kehidupan satwa langka Harimau Sumatera paling unik dan menarik. Harimau Sumatera memiliki status khusus dalam kebudayaan masyarakat. Keberadaan Harimau seakan tidak pernah lekang dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat bahwa macan sebagai Datuk alias Kakek yang sampai kini diyakini banyak orang. Satwa ini bagi masyarakat selain si raja hutan, juga merupakan wujud tanda penghukum sekaligus pelindung. Itu dibuktikan masyarakat pedalaman memberikan penghormatan khusus bagi harimau satwa yang hidup berdampingan di tengah hutan belantara.
Dalam melaksanakan survei Harimau Sumatera ini, Neil sempat bekerja sama dengan Departemen Kehutanan. Kegiatan yang dilakukannya pun didukung dana dari Kanada, Amerika Serikat dan Inggris. Selama 7 tahun program ini menjadi "pioneer" dalam pengelolaan, menghitung dan pemahaman ekologi harimau dan tantangan konservasi harimau dan habitatnya. Program ini juga meneliti masalah konflik manusia-harimau, serta melaksanakan penangkapan dan relokasi harimau yang bermasalah.
"Tujuan dari semua itu untuk mengintegrasikan konservasi harimau dan biodiversiti dalam lanskap yang dikelola di sektor kelapa sawit, kehutanan dan perkebunan," kata Neil.
Dari berbagai survei terkait perdagangan Harimau Sumatera selama ini, dapat dipastikan, bahwa organ tubuh satwa dilingdungi itu memang sangat banyak peminatnya. Isu terus berkembang bahwa obat-obatan tradisional dari organ tubuh macan dianggap obat paling mujarab untuk kesehatan.
Walaupun banyak obat tradisional memiliki kekuatan berdasarkan ilmu yang terbukti, urusan tubuh harimau itu urusan lain lagi. Menurut Neil, sudah terbukti secara ilmiah bahwa tidak ada efek pengobatan, bahkan ini sudah disetujui para ahli obat-obatan tradisional di dunia. Masalah perdagangan ilegal organ tubuh ini murni didorong faktor ekonomi dan keserakahan manusia. Sebuah komoditi yang semakin langka, tentu semakin mahal. Bagian tubuh harimau diperjualbelikan hanya karena kelangkaannya itu.
"Para pembeli dibohongi untuk membeli sesuatu yang eksklusif, tapi yang di-untungkan para perdagang dan middleman, bukan konsumennya. Sementara rantaian perdagangan ilegal ini merupakan faktor penting yang mendorong harimau Sumatera semakin langka di hutan alam Indonesia," imbuh Neil yang sempat bekerja di PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) perusahaan kertas di Riau itu.
Bagi para pedagang, kepunahan harimau mungkin dianggap urusan kesekian. Semakin langka jenis satwa itu, maka dengan sendirinya harga dipasaran internasional kian mahal. "Andai saja kelak harimau ini punah, maka para pedagang akan kembali mengisukan organ kambing sebagai sebagai obat mujarab. Jadi jangan pernah percaya, kalau organ tubuh harimau merupakan obat tradisonal yang topcer," kata Neil yang kini bekarie sebagai konsultan independent itu.
Konflik antara harimau dan manusia yang sering terjadi saat ini tidak lain karena pakan harimau yang sudah langkah akibat perburuan manusia. Ketika sumber makanan tidak tersedia lagi, maka dengan sendirinya harimau mencari makan di luar kebiasaannya. Ini belum lagi habitatnya kian hari kian menyempit. Kondisi itu melahirkan konflik yang berkepanjangan dengan manusia.
"Pemerintah bersama masyarakat harus berkerja keras untuk menyelamatkan kawasan hutan dan harimau yang tersisa. Bila tidak, semua hanya tinggal dongen belaka," sambung Neil.
Bagi Neil, Indonesia sangat menarik, karena begitu banyak tantangan pembangunan. Pun begitu masih penuh dengan potensi untuk belajar dari kesalahan pembangunan negara-negara lain. Indonesia, karena luas dengan masyarakat yang kreatif, dan sumber daya alam yang besar, bagi Neil masih mempunyai potensi untuk menjadi negara yang sustainable.
"Oleh karena itu masih punya potensi besar untuk maju pesat dan dibanggakan di dunia ini. Saya sangat optimis tentang ini baik untuk keberadaan harimau Sumatera dan juga untuk pembangunan berkelanjutan Indonesia secara luas," tutup Neil.
Tulisan : Chaidir Anwar Tanjung
Sumber : Detik News
0 komentar:
Post a Comment